Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) adalah wadah pemersatu umat Islam etnis Tionghoa di Indonesia yang didirikan Abdul Karim Oei Tjeng Hien dan Kho Goan Tjin.
Sebelum kemerdekaan, ada wadah Persatuan Islam Tiong Hoa yang dipimpin Abdulsomad Yap A Siong dan Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) yang diketuai Kho Goan Tjin. Dulu, organisasi yang berbasis di Medan dan Bengkulu ini masih bersifat lokal, sehingga manfaft dan greget wadah ini belum dirasakan oleh kalangan muslim Tionghoa khususnya, maupun Muslim Indonesia umumnya.
PITI sebagai organisasi dakwah sosial keagamaan yang berskala nasional yang berfungsi sebagai tempat singgah, tempat sillahturrahim untuk belajar ilmu agama dan cara beribadah bagi etnis Tionghoa yang tertarik dan ingin memeluk agama islam, serta tempat berbagi pengalaman bagi mereka yang masuk islam.Pengukuhan anggota Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Islam Tionghoa Indonesia atau DPP PITI yang dilaksanakan di Grand BallRoom Sand International Restaurant Mangga Dua Squere Jakarta Utara berjalan dengan sukses dan khidmat, Sabtu (27/10/2012)
Mantan narapidana yang juga seorang ulama kini resmi terpilih sebagai Ketua Umum DPP PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia), dalam sambutannya anton medan berharap semoga organissasi yang dimpinnya ini menjadi ajang bagi warga Muslim Tionghoa untuk bersatu dan mengeluarkan kekuatannya untuk membangun bangsa.
"Organisasi ini untuk menyatukan muslim Tionghoa, kami terbuka untuk umum, kami tidak kenal diskriminasi Tionghoa Jawa, Sunda, dan lain-lain, Justru Islam membebaskan manusia dari diskriminasi" tegas Anton Medan dalam sambutannya.
Anton Medan berharap, dengan dikukuhkannya sebagai Pengurus organisasi Muslim Tionghoa ini, mudah-mudahan umat Islam beretnis Tionghoa dapat memberikan kontribusi dalam memperjuangkan nilai-nilai yang penuh dengan kasih sayang.
Dalam acara turut pula dihadiri Ir.Basuki T Purnama atau biasa disapa Ahok Wakil Gubernur DKI Jakarta, beserta tamu undang lainnya.
......................................................................................................................................................
KISAH PERJALANAN ANTON MEDAN
Nama
saya Tan Hok Liang, tapi biasa dipanggil Kok Lien.
Saya dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 1 Oktober 1957, sebagai anak
ke-2 dari 17 bersaudara. Pada umur 8 tahun saya masuk SD Tebing Tinggi. Ketika
saya sedang senang senangnya menikmati dunia pendidikan, tiba-tiba dunia
sakolah terpaksa saya tinggalkan karena ibu menyuruh saya berhenti sekolah.
Jadi, saya hanya tujuh bulan menikmati bangku SD. Mulai saat itulah saya
menjadi tulang punggung keluarga.
Saya
sadar, mungkin inilah garis hidup saya. Saya terpaksa harus meninggalkan bangku
sekolah untuk bekerja membantu mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Pada
usia 12 tahun, saya mulai merantau dan menjadi anak jalanan di Terminal Tebing
Tinggi. Sehari-hari saya menjadi calo, mencari penumpang bus. Suatu ketika,
saya berhasil mencarikan banyak penumpang dari salah satu bus. Tapi entah
mengapa, tidak seperti biasanya, saya tidak diberi upah.
Terbayang
di mata saya wajah kedua orang tua, adik-adik, serta kakak saya yang senantiasa
menunggu kiriman uang dari saya. Saya terlibat perang mulut dengan sopir bus
tersebut. Tanpa sadar, saya ambil balok kayu dan saya pukulkan ke kepalanya.
Akhirnya, saya berurusan dengan pihak yang berwajib. Di hadapan aparat
kepolisian, saya tak mau mengaku bersalah. Saya menuntut hak saya yang tak diberikan
oleh sopir bus itu.
Sebetulnya,
saya tak ingin berurusan dengan pihak yang berwajib. Saya ingin hidup
wajar-wajar saja. Tapi entah mengapa, kejadian di Terminal Tebing Tinggi itu
terulang kembali di Terminal Medan. Dulu, selama di Terminal Tebing Tinggi,
saya menjadi calo. Tapi, di Terminal Medan, saya beralih profesi menjadi
pencuci bus.
Suatu
ketika, tak saya sangka, tempat yang biasanya saya jadikan tempat menyimpan
uang, ternyata robek. Uang saya pun ikut lenyap. Saya tahu siapa yang melakukan
semua itu. Saya berusaha sabar untuk tak ribut dengannya. Saya peringatkan saja
dia. Ternyata, mereka malah memukuli saya. Waktu itu saya berumur 13 tahun.
Lawan saya orang yang sudah dewasa dan tinggi besar. Saya sakit hati, karena
tak satu pun teman yang membantu saya. Tanpa pikir panjang, saya ambit parang
bergerigi pembelah es yang tergeletak di antara kerumunan lalu saya bacok dia.
Dia pun tewas. Lagi-lagi saya berurusan dengan polisi. Saat itu saya diganjar
empat tahun hukuman di Penjara Jalan Tiang Listrik, Binjai. Masih saya ingat,
ibu hanya menjenguk saya sekali saja.
Merantau
ke Jakarta.
Setelah
bebas dari penjara, saya pulang kampung. Tak pernah saya sangka, ternyata orang
tua saya tak mau menerima saya kembali. Mereka malu mempunyai anak yang pernah
masuk penjara. Hanya beberapa jam saya berada di rumah. Setelah itu, saya
hengkang, mengembara ke Jakarta dengan menumpang KM Bogowonto.
Saya
hanya mempunvai uang seribu rupiah. Tujuan utama saya ke Jakarta mencari alamat
paman saya yang pernah menyayangi saga. Berbulan-bulan saga hidup menggelandang
mencari alamat paman. Waktu itu alamat yang saya ingat hanyalah daerah Mangga
Besar. Dengan susah payah, akhirnya saya temukan alamat paman. Sungguh tak saya
sangka, paman yang dulu menyayangi saya, ternyata mengusir saya. Hilang sudah
harapan saya untuk memperbaiki masa depan.
Tekad
saya sudah bulat. Tak ada orang yang mau membantu saya untuk hidup secara
wajar. Mulailah saya menjadi penjahat kecil-kecilan. Kejahatan pertama yang
saya lakukan adalah menjambret tas dan perhiasan nenek-nenek yang akan
melakukan sembahyang di klenteng.
Mulai
saat itu saya telah berubah seratus persen. Keadaan mendorong saya untuk
melakukan semua ini. Pelan-pelan dunia jambret saya tinggalkan. Saya beralih ke
dunia rampok. Perdagangan obat-obat terlarang mulai saya rambah. Dan terakhir,
saya beralih sebagai bandar judi. Saat-saat itulahsaya mengalami kejayaan.
Masyarakat Jakarta menjuluki saya Si Anton Medan, penjahat kaliber kakap,
penjahat kambuhan, yang hobinya keluar masuk penjara, dan lain-lain.
Proses
mencari Tuhan
Tak
terbilang berapa banyak LP (Lembaga Pemasyarakatan) dan rutan (rumah tahanan)
yang sudah saya singgahi. Karena sudah terbiasa, saya tahu seluk-beluk rutan
yang satu dengan rutan yang lain, baik itu sipirnya maupun fasilitas yang
tersedia.
Di
tembok penjara itulah saya sempat menemukan hidayah Tuhan. Ketika dilahirkan,
saya memang beragama Budha. Kemudian saya berganti menjadi Kristen. Entah
mengapa, tatkala bersentuhan dengan Islam, hati saya menjadi tenteram. Saya
menemukan kesejukan di dalamnya.
Bayangkan,
tujuh tahun saya mempelajari Islam. Pengembaraan saya mencari Tuhan, tak lepas
dari peran teman-teman sesama tahanan. Misalnya, teman-teman yang terkena kasus
Cicendo, dan sebagainya. Tanpa terasa, hukuman yang begitu panjang dapat saya
lalui. Akhirnya saya menghirup udara segar kembali di tengah-tengah masyarakat.
Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berbuat kebaikan bagi sesama.
Masuk
Islam
Tapi,
kenyataannya ternyata berlainan. Begitu keluar dari penjara, saya dipaksa oleh
aparat untuk membantu memberantas kejahatan. Terpaksa ini saga lakukan. Kalau
tidak, saya bakal di 810-kan, alias didor. Dalam menjalankan tugas, saya selalu
berhadapan dengan bandar-bandar judi kelas wahid. Sebutlah misalnya, Hong-lie
atau Nyo Beng Seng. Akibat ulah Hong-lie, terpaksa saya bertindak keras
kepadanya. Saya serahkan dia kepada pihak berwajib.
Dan
akhirnya, saya menggantikan kedudukannya sebagai mafia judi. Sudah tak
terhitung berapa banyak rumah-rurnah judi yang saya buka di Jakarta. Saya pun
merambah dunia judi di luar negeri. Tapi, di situlah awal kejatuhan saya. Saya
kalah judi bermiliar-miliar rupiah.
Ketidakberdayaan
saya itulah akhimya yang membuat saya sadar. Mulailah saya hidup apa adanya.
Saya tidak neko-neko lagi. Saya ingin mengabdikan hidup saya di tengah-tengah
masyarakat. Untuk membuktikan kalau saya benar-benar bertobat, saya lalu masuk
Islam dengan dituntun oleh KH. Zainuddin M.Z. Setelah itu, saya berganti nama
menjadi Muhammad Ramdhan Effendi.
Kiprah
saya untuk berbuat baik bukan hanya sebatas masuk Islam. Bersama-sama dengan
K.H. Zainuddin M.Z., K.H. Nur Muhammad Iskandar S.Q., dan Pangdam Jaya (waktu
itu) Mayjen A.M. Hendro Prijono, 10 Juni 1994, kami mendirikan Majels Taklim
Atta’ibin.
Sengaja
saya mendirikan majelis taklim ini untuk menampung dan membina para mantan napi
(narapidana) dan tunakarya (pengangguran) untuk kembali ke jalan Yang benar.
Alhamdulillah, usaha ini tak sia-sia. Pada tahun 1996, Majels Taklim Atta’ibin
mempunyai status sebagai yayasan berbadan hukum yang disahkan oleh Notaris
Darbi S.H. yang bernomor 273 tahun 1996.
..............................................................
ASAL MUASAL PENDIRIAN PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia)
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) adalah wadah pemersatu umat Islam etnis Tionghoa di Indonesia yang didirikan Abdul Karim Oei Tjeng Hien dan Kho Goan Tjin.
Sebelum kemerdekaan, ada wadah Persatuan Islam Tiong Hoa yang dipimpin Abdulsomad Yap A Siong dan Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) yang diketuai Kho Goan Tjin. Dulu, organisasi yang berbasis di Medan dan Bengkulu ini masih bersifat lokal, sehingga manfaft dan greget wadah ini belum dirasakan oleh kalangan muslim Tionghoa khususnya, maupun Muslim Indonesia umumnya.
Untuk mengembangkan sayap ukhuwah islamiyah di kalangan muslim Tionghoa, PIT dan PTM kemudian bergabung dan bermetamorfosis menjadi satu wadah dengan nama Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Organisasi ini berdiri sebagai tanggapan realistis atas saran Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah K.H Ibrahim kepada Abdul Karim Oei untuk menyampaikan agama Islam kepada etnis Tionghoa harus dilakukan oleh etnis Tionghoa yang beragama Islam.Dalam perjalanan sejarahnya, PITI mengalami masa perubahan pada era Orde Baru. Setelah meletusnya Gerakan 30 September (G-30-S). Indonesia kembali menggalakkan gerakan pembinaan persatuan dan kesatuan serta nation and character building. Simbol-simbol yang menghambat pembaruan seperti istilah, bahasa dan budaya asing, khususnya Tionghoa, dibatasi dan dilarang oleh pemerintah.
PITI juga terkena dampaknya. Pasalnya, nama Tionghoa pada kepanjangan PITI dilarang. Tetapi, berdasarkan pertimbangan bahwa gerakan dakwah di kalangan masyarakat etnis Tionghoa harus tetap berjalan, maka pada tanggal 15 Desember 1972, pengurus PITI mengubah kepanjangan PITI menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.
Ketika kran keterbukaan pada zaman Presiden Abdul Rahman Wahid alias Gus Dur dibuka kembali, termasuk diakuinya Hari Raya Imlek sebagai hari libur resmi. Maka pada Mei 2000 dalam rapim organisasi ditetapkan kepanjangan PITI dikembalikan ke semula menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia.
Secara umum, organisasi PITI memiliki visi mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Adapun misinya dibagi menjadi tiga : mempersatukan muslim Tionghoa dengan muslim Indonesia, Tionghoa muslim dengan Tionghoa nonmuslim, serta etnis Tionghoa dengan umat Islam di Indonesia.
Pada intinya, PITI ingin menjadi jembatan bagi kerukunan masyarakat asli (pribumi) dengan warga keturunan Tionghoa, baik itu muslim atau nonmuslim. Sebab, sejatinya kita semua bersaudara. Jangan sampai dengan perbedaan, kita terpecah belah. Apalagi, Islam mengajarkan untuk menghargai perbedaan di antara sesamanya.
Program kerja PITI sendiri, antara lain, menyampaikan dakwah islam, khususnya kepada masyarakat keturunan Tionghoa dan pembinaan dalam bentuk bimbingan, kepada muslim Tionghoa dalam menjalankan syariah islam, baik di lingkungan keluarganya yang masih nonmuslim dan persiapan berbaur dengan umat Islam di lingkungan tempat tinggal dan pekerjaannya, serta pembelaan/perlindungan bagi mereka yang karena masuk agama islam, untuk sementara mempunyai masalah dengan keluarga dan lingkungannya.
PITI sebagai organisasi dakwah sosial keagamaan yang berskala nasional yang berfungsi sebagai tempat singgah, tempat sillahturrahim untuk belajar ilmu agama dan cara beribadah bagi etnis Tionghoa yang tertarik dan ingin memeluk agama islam, serta tempat berbagi pengalaman bagi mereka yang masuk islam.
(Sumber dari : Majalah China Town, Edisi 59 / VI / SEPTEMBER 2012)