Gema Jakarta, Jakarta - Kasus kematian bayi Debora di RS Mitra Keluarga Kalideres menuai banyak rekasi dari berbagai kalangan, diantaranya dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang juga mengamati kasus wafatnya bayi malang tersebut.
Seperti marak diberitakan media berdasarkan kronologi yang disampaikan orang tua Debora, bayi malang tersebut awalnya menderita sesak nafas akibat batuk pilek yang dideritanya. Khawatir terjadi sesuatu, Henny membangunkan suaminya dan meminta agar diantar ke rumah sakit.
Tindakan pertolongan pertama diberikan. Bayi Debora sempat dicek suhu tubuhnya. Lalu, diberikan penguapan untuk mengencerkan dahaknya. Sambil dilakukan pemeriksaan, ayah Debora, Rudianto diminta untuk mengurus administrasi pasien. Usai dilakukan pemeriksaan awal, dokter mengatakan Debora harus segera dibawa ke ruang PICU. Apalagi kondisinya semakin memburuk.
Sayangnya, hanya karena orang tua Debora tidak dapat menyanggupi uang muka yang diminta RS sebesar Rp 19,8 Juta, pihak RS menolak memasukan debora ke ruang rawat PICU. Dan sekitar pukul 09:15 WIB, perawat mengabarkan jika kondisi Debora memburuk dan akhirnya meninggal dunia.
Penolakan RS melayani kebutuhan perawatan bagi pasien hingga menyebabkan pasien meninggal tersebut mendapat kecaman dari anggota DPD RI, Prof. Dr. Dailami Firdaus dalam siaran persnya disebar melalui media sosial.
Baginya alasan RS menolak melakukan pelayanan hanya karena uang jelas bertentangan dengan fungsi sosial RS.
Terlebih, menurut Dailaimi panggilan akrabnya UU Kesehatan sudah mengatur RS dilarang untuk menolak pasien dan meminta uang muka.
“Sudah jelas tertulis di UU No.36/2009 tentang Kesehatan, dimana pada pasal 32 ayat 2 dijelaskan bahwa dalam keadaan darurat, faskes baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka” tegas Dailami.
“Dari sana saja kita sudah bisa memahami bahwa apa yang dialami oleh orangtua Debora, dimana RS menolak memasukan Debora ke ruang PICU dengan alasan tidak sanggup membayar uang muka jelas RS telah melanggar UU Kesehatan. Dan bagi yang melanggarnya ada sangsinya yaitu penjara 2 tahun dan denda maksimal Rp 200 juta, dan jika menyebabkan kematian dipenjara 10 tahun dan denda 1 milyar” tambah Dailami.
Dailami yang juga Dewan Pembina Nasional Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia) menjelaskan bahwa dalam UU Kesehatan No.36/2009 tegas menuliskan sangsi bagi pelanggarnya yaitu pada pasal 190 ayat 1 yang berbunyi : Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melanggar pasal 32 ayat 2 itu dipenjara maksimal 2 tahun penjara dan denda maksimal Rp 200 Juta.
Sedangkan pada ayat 2 nya pada pasal yang sama disebutkan : jika menyebabkan kematian, dipenjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 Milar.
Dailami juga menyesalkan sikap pemprov DKI yang diwakili oleh Kepala Dinas Kesehatan DKI yang menyatakan wafatnya bayi Debora hanyalah kesalahan persepsi dalam komunikasi yang dilakukan antara petugas administrasi RS dengan orangtua Debora.
“Ini sama saja kepala dinas kesehatan menganggap rakyat telah berbohong, dan RS telah bekerja sesuai prosedur. Padahal ada peristiwa dimana PICU tidak diberikan karena orangtua Debora tidak mampu membayar uang muka” sesal Dailami.
Dailami juga menyesalkan pihak keluarga korban oleh kepala dinas kesehatan tidak sama sekali diundang untuk diminta keterangannya. Sehingga informasi yang didapat kepala dinas bersumber dari kedua belah pihak, dan memenuhi syarat keadilan dalam memutuskan keputusannya terhadap kasis yang menyebakan hilangnya nyawa seseorang.
Terakhir Dailami meminta kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Djarot Syaifullah Hidayat untuk mennyelidiki ulang kasus kematian Debora yang dianggapnya keputusan kepala dinas kesehatan DKI tidak memenuhi unsur keadilan.
“Apalagi dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pemprov DKI dalam hal ini Gubernur memiliki tanggungjawab dalam hal fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap RS yang berada diwilayah DKI Jakarta” tegas Dailami mengakhiri siaran persnya.(Her/rls)