NEWSGEMAJAKARTA.COM, Kota Serang - Indonesia menganut sistem demokrasi
Pancasila, alam demokrasi yang dibangun memberi ruang terbuka kepada setiap warga
negara, baik secara individu maupun bersifat untuk berkumpul, serta menyalurkan
hak dan kewajiban politiknya.
Hal itu diungkap Syamsul Bachri kepada tim GemaMedia Network (GMN) melalui
Press Releasnya, Sabtu (25/11/2017), hal itu tentunya harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dikatakan Syamsul, mekanisme yang diatur dalam demokrasi salah satunya
adalah proses suksesi kepemimpinan, pada konteks Pilkada, aplikasi dari
demokrasi Pancasila diatas tertuang dalam undang-undang nomor 8 tahun 2015
pasal 42 huruf a.
“Undang-undang tersebut mengatur tentang pencalonan kepala daerah
melalui partai politik, gabungan partai politik, atau jalur perseorangan.” Ungkapnya
kepada Tim GemaMedia Network.
Menurutnya, dapat dipahami betul, bahwa undang-undang diatas berfungsi
sebagai payung hukum sekaligus jaminan bagi individu maupun kelompok untuk ikut
serta dalam kontestasi Pilkada.
Lebih jauh, Syamsul mengatakan, berdasarkan undang-undang diatas
pulalah warga Kota Serang mendeklarasikan bakal pasangan calon perseorangan
yang menamakan dirinya sebagai BUYA.
“Kehadiran BUYA yang begitu fenomenal merupakan geliat kesadaran
politik warga Kota Serang, dan boleh jadi juga sebagai representasi titik jenuh
yang dirasakan warga Kota Serang dalam mengikuti peta politik di kotanya,”
Terangnya.
Syamsul juga menyayangkan, adanya dugaan praktek di lapangan yang
dialami oleh tim dan pendukung BUYA ternyata tidak selalu mencerminkan jiwa
Pancasila terutama sila ke-4 dan undang-undang nomor 8 tahun 2015.
“Kubu BUYA mendapatkan perlakuan politik intimidatif dari pihak-pihak
yang tidak bertanggungjawab, serta tekanan politik tersebut dialami kubu BUYA
dalam bentuk dan kesempatan yang berbeda-beda,” imbuhnya.
Adapun menyoal perlakuan intimidasinya yakni, sesaat setelah pemasangan
alat Peraga Kampanye (APK) dalam bentuk baligo, poster, dan spanduk, terjadi
berbagai bentuk pengrusakan. Misalnya di Kecamatan Walantaka, baligo BUYA
dirusak dengan cara dicoret di bagian wajahnya hingga menyerupai Jack Sparrow
seorang tokoh bajak laut.
“Boleh jadi si pelaku memiliki halusinasi akut tentang kekalahan yang
akan dialaminya. Oleh karenanya BUYA dianggap sebagai pembajak kekuatan
masanya, dan hal ini merupakan lelucon yang tak lucu dan tak cerdik tetapi
sebuah ironi di alam demokrasi Pancasila. Sebuah sikap kekanak-kanakan dari
politikus yang tidak memiliki integritas diri.” Beber Syamsul.
Sedangkan di Kecamatan Kasemen, spanduk BUYA yang sudah dipasang
disobek. Lain halnya dengan poster BUYA yang sudah dipasang hilang meskipun
telah dipasang untuk kedua kalinya. Boleh jadi si pelaku merusak spanduk dan
poster itu untuk alas tidurnya.
Di kesempatan lain tim BUYA mengalami intimidasi dengan cara pelarangan
pemasangan APK BUYA dengan alasan wilayah tersebut diklaim sebagai wilayah
kekuasaan partai tertentu. Seandainya informasi ini sampai ke telinga bang
Rhoma, maka tentunya beliau akan menggeleng-gelengkan kepala sambil mengatakan
sungguh terlalu…! (maaf bang haji…this is just a joke).
Lain lagi di Kecamatan Serangm kejadian yang dialami oleh salah satu
Tim BUYA ini sungguh sangat tidak berperadaban sama sekali dan jelas-jelas
diduga melanggar hukum pidana. Bagaimana tidak jika intimidasi politik tersebut
dalam bentuk aksi penculikan terhadap anak di bawah umur dari salah seorang Tim
BUYA.
“Peristiwanya terjadi pada tanggal 22 November 2017 pukul 16.30. Adapun
TKP penculikan berawal di sekitar Jalan Sepang dan sekitar Jagarayu.” Terang
Syamsul
Berdasarkan saksi dari korban, para penculik ini terdiri dari empat
orang dengan ciri-ciri yang sudah teridentifikasi oleh korban. Mereka dalam
aksinya menggunakan mobil carry berwarna biru. Peristiwa penculikan ini berawal
ketika korban berjalan kaki di jalan Sepang kemudian dihadang oleh sebuah
mobil.
Segera si penculik menodongkan pisau di leher anak seraya mengancam
untuk tidak berteriak dan langsung dilemparkan ke dalam mobil. Sejurus
kemudian, mobil melaju ke arah Jagarayu dan mencari tempat sepi jauh dari
pemukiman masyarakat.
Setelah sampai di tempat sepi, para penculik tersebut turun untuk
mengintograsi korban dengan mengarahkan pisau ke leher korban sambil mengancam
akan membunuhnya. Si penculik menanyakan apakah benar si anak merupakan anak
bapak Rohman.
Kemudian, anak tersebut menjawab apa adanya bahwa dirinya bukanlah anak
dari bapak Rohman. Pertanyaan itu diulang-ulang oleh para penculik sambil
mencari informasi dengan menggeledah isi tas dan pakaian si anak.
Setelah tidak mendapatkan apa yang dicari, penculik ini menendang si
anak hingga terjerembab ke tanah. Sebelum penculik itu meninggalkan si anak di
tengah hutan, para penculik mengatakan sebuah pesan politik intimidatif berupa
perkataan, ‘Kasih tahu ke Rohman harus jaga sopan santun!
Aksi penculik tersebut boleh jadi dalam asumsinya merupakan sebuah
kehebatan atau keberanian, tetapi sejatinya si penculik ini mengalami sindrom
Megalomania yang parah. Mungkin para penculik ini mengalami perundungan
(bullying) pada masa kecilnya.
Sehingga untuk mengatasi ketidakmampuannya mereka berkhayal dan berlaga
seperti tokoh Megaloman di film anak-anak tempo dulu sekitar era 80-an. Atau
dalam dunia fauna kita mengenal ikan buntal yang memiliki pola pertahanan
dengan cara membesarkan diri di hadapan sesuatu yang dianggap mengancamnya.
Berita penculikan ini begitu cepat beredar di kalangan pendukung BUYA.
Meskipun tanpa ada komando, mereka langsung merapat ke rumah si anak yang menjadi
korban penculikan. Dalam tempo singkat, telah berkumpul kurang lebih seratus
motor dan empat mobil. Fenomena ini sebagai gambaran betapa solidaritas di keluarga
besar BUYA begitu kuat.
Suasana dikediaman anak yang menjadi korban penculikan
|
Melihat antusiasme seperti ini, orang tua dari si anak yang menjadi
korban berupaya semaksimal mungkin menenangkan dan mendinginkan emosi para
pendukung BUYA yang tensinya sudah begitu panas. Langkah ini harus segera
diambil.
Bagaimanapun para pendukung BUYA yang datang merupakan para pemuda dan
perwakilan jawara dari beberapa kelurahan terdekat. Adapun para jawara dari
beberapa Kecamatan lain yang akan meluncur ke TKP langsung ditahan agar tidak
terjadi hal-hal di luar kontrol.
Sebagai bentuk kesadaran hukum, pada tanggal 24 November 2017 anak yang
menjadi korban penculikan dengan didampingi orang tuanya melaporkan kejadian
diatas ke pihak kepolisian yaitu ke Mapolsek Serang. Jeda waktu tiga hari antara kejadian dengan
pelaporan disebabkan adanya upaya orang tua untuk menstabilkan kondisi
psikologis si anak yang terguncang.
Bila melihat kronologis dari peristiwa di atas, ini sangat berkaitan
sekali dengan majunya Rohman, S.Pd.I., M.A. sebagai bakal calon wakil walikota
dari kubu BUYA. Dengan kwalitas profil yang melekat pada dirinya dalam
kalkulasi politik akan menjadi daya magnet luar biasa. Sehingga, menjadi
ancaman serius bagi kontestan lain.
Dengan peta konflik tersebut, adalah sebuah kesalahan besar bila ada
pihak yang menilai bahwa semua peristiwa di atas adalah berasal dari kubu Bapak
Burhanudin, S.Ag, M.Si. Alih-alih berbuat nista seperti itu, kubu Bapak
Burhanudin sampai detik ini terus menambah dukungan KTP kepada Tim BUYA.
Terlebih jika mendengarkan kesaksian anak yang menjadi korban bahwa
para penculik tersebut teridentifikasi ada kemiripan dengan pelaku yang
mengintimidasi Tim BUYA di Kecamatan Curug, baik dari segi jumlah, umur, dan
perawakan. Hanya saja ketika di Kecamatan Curug mereka menggunakan mobil
Terios/Rush berwarna putih.
Dalam peristiwa lain, terindikasi kuat ada upaya pihak-pihak yang mau
mengadu domba antara BUYA dengan Bapak Syafrudin selaku salah satu bakal calon
Walikota. Hal tersebut terlihat ketika sesaat setelah terpasangnya baligo BUYA
di Kagungan, Kec. Serang.
Secara kebetulan baligo BUYA dipasang bersanding dengan baligo Bapak
Syafrudin. Namun pada keesokan harinya, baligo milik Bapak Syafrudin ada yang
merusak. Boleh jadi hal ini ditujukan untuk menimbulkan prasangka dan
permusuhan diantara BUYA dan Bapak Syafrudin.
Pengerusakan baligo milik Bapak Syafrudin |
“Biarlah bagi pelaku devide et impera tetap dalam dunia khayalnya,
mereka merasa akan mengadu domba padahal kita bukan domba kan Pak
Syafrudin? Lagi pula kita sebagai
manusia jangan mau di adu oleh domba!,” Ungkap Syamsul.
Atas segala ujian yang dialami tim dan pendukung BUYA, dikembalikan
seluruhnya kepada Allah Yang Maha Kuasa berdasarkan takwa dan tawakal secara
totalitas. Kami percaya bahwa sunnatullah terus berjalan dan kami yakin Allah
boten sare. Pada akhirnya, hanya kepada Allah kami minta perlindungan.
“Semoga dengan ujian ini semakin mendewasakan kami dalam berpolitik.
Kepada seluruh warga Kota Serang haruslah tetap optimis bahwa pada saatnya Kota
Serang akan maju di tangan orang-orang yang berani, unggul, yakin, dan amanah. ‘Bismillahi
tawakkalna ‘alallah la hawla wala quwwata illa billahil’aliyil ‘adzim…Salam
perubahan…!!!" Pungkasnya seraya
mengakhiri. (Tim BUYA)