Tentunya
kebijakan yang mewajibkan semua wartawan ikut Uji Kompetensi Wartawan – UKW lewat
Lembaga sertifikasi Profesi bentukan Dewan Pers, bertentangan dengan pasal 18
Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan mewajibkan
Perusahaan Pers diverifikasi oleh Dewan Pers seperti SIUP era Orba.
Kedua
kebijakan tersebut berpotensi mengancam wartawan yang belum ikut UKW dan media
yang belum diverifikasi dapat dikriminalisasi. “Terbukti Dewan Pers sering
membuat rekomnedasi kepada pengadu agar menueruskan perkara pers ke aparat
klepolsisian berdaasrkan pertimbanagn bahwa wartawannya belum ikut UKW dan
medianya belum diverifikasi,” ujar Ketum SPRI
Sidang
Gugatan Ke 1 PMH Terhadap Dewan Pers.
Adapun gugatan Perbuatan Melawan Hukum
(PMH) terhadap Dewan Pers untuk sidang perdana dilakukan pada pada Rabu,
9 Mei 2018 pukul 09.00 WIB di PN Jakarta Pusat. Namun sidang hanya berlangsung
sekitar 10 menit.
Hal
demikian, lantaran pihak Dewan Pers selaku tergugat tidak hadir tanpa alasan.
Sehingga Majelis Hakim yang dipimpin Abdul K memutuskan sidang ditunda pada
Tanggal 21 Mei 2018.
Sidang Gugatan Ke 2 PMH Terhadap Dewan
Pers pada Senin, 21 Mei 2018.
Pada sidang ke 2 atas perkara gugatan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap Dewan Pers oleh sejumlah organisasi
kewartawanan terus berjalan. Kali ini Pada Senin, 21 Mei 2018, di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, telah berlanjut sidang gugatan Perbuatan Melawan Hukum
terhadap Dewan Pers, dengan agenda gugatan dari kuasa hukum penggugat, Dolfie
Rompas.
Dolfie menyuarakan protesnya
terkait “legal standing” atau keabsahan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo
sebagai pemberi kuasa kepada dua orang kuasa hukum untuk mewakili tergugat
menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (21/5/2018).
Dolfie mempertanyakan surat pleno
Dewan Pers (DP) yang memilih Yosep Adi Prasetyo sebagai Ketua Dewan Pers hanya
ditanda-tangani oleh tergugat seorang diri padahal seharusnya ikut ditandatangani
oleh seluruh anggota Dewan Pers.
Sidang Gugatan Ke 3 PMH Terhadap Dewan
Pers pada Senin, 30 Mei 2018.
Sidang gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
ke Tiga berlangsung pada Rabu, 30 Mei 2018. Dewan
Pers selaku tergugat Perbuatan Melawan Hukum untuk membuktikan legal
standingnya sebagai pemberi surat kuasa kepada ke dua pengacaranya Frans
Lakaseru dan Dyah HP.
Namun, setelah
diberi waktu selama satu minggu, kuasa hukum Dewan Pers masih tidak bisa
menyerahkan dokumen yang diminta majelis hakim pada siding sebelumnya, sebagai
bukti bahwa Yoseph Adi Prasetyo memiliki legal standing untuk menunjuk keduanya
sebagai kuasa hukum.
"Kenapa
dokumen itu (keabsahan tergugat) begitu lama dibuat," tandas Ketua Majelis
Hakim Abdul Kohar saat sidang ke 3 berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Kamis (31/05) siang.
Sidang Gugatan Ke 4 PMH Terhadap Dewan
Pers pada Senin, 7 Juni 2018.
Selanjutnya
untuk sidang Ke empat perkara gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap
Dewan Pers oleh dua Organisasi Jurnalis PPWI dan SPRI dilaksanakan pada Kamis,
7 Juni 2018. Sidang yang berlangsung
dari pukul 11.15 WIB itu mengagendakan penyerahan dan verifikasi surat Kuasa dari
pihak Dewan Pers kepada Majelis Hakim.
Dewan
Pers pada kesempatan tersebut diwakili kuasa hukumnya, Frans dan Dyah, telah
membawa dan menyerahkan sejumlah berkas, di antaranya Surat Kuasa yang ditandatangani
oleh seluruh anggota Dewan Pers.
Namun,
saat mengulas setiap dokumen yang diperlihatkan dan diserahkan kepada majelis
hakim, terdengar komentar singkat yang cukup menggelikan dari Ketua Majelis
Hakim, Abdul Kohar. Pasalnya, semua tanda tangan para anggota Dewan Pers di
surat kuasa tersebut seluruhnya bermeterai Rp6.000.
PPWI
bersama SPRI yang pada intinya memberikan apresiasi atas perkembangan dan
kesediaan pihak tergugat Dewan Pers untuk memenuhi permintaan keabsahan kuasa
hukum yang mewakili lembaga tersebut.
Satu
kejanggalan dari penyerahan kelengkapan surat kuasa oleh kuasa hukum Dewan Pers
di persidangkan ke 4, dari Sembilan orang anggota Dewan Pers yang ikut bertanda
tangan di surat kuasa terdapat nama Harry Sarundajang.
Pasalnya,
Sarundajang adalah Mantan Gubernur Sulawesi Utara sejak 20 Februari telah
bertugas sebagai duta Besar dan bekuasa penuh Republik Indonesia untuk Republik
Filipina merangkap Kepulauan Marshall dan Republik Palau.
Hal
ini menggelitik para penasehat hukum penggugat, yang terdiri atas Dolfie
Rompas, Beatrix Nidya Pontolaeng, Hanoch A.P. Pangemanan, Asterina Julifenti
Tiarma, dan Tondi Madingin A.N. Situmeang. Mereka mempertanyakan “keanehan”
tersebut.
“Pak Sarundajang sudah sejak
beberapa bulan lalu menjadi Duta Besar di Philipina, apakah Beliau masih bisa
menandatangani surat kuasa dari Dewan Pers?” tanya Rompas mewakili team
penasehat hukum penggugat.
Ini berarti Dewan Pers sudah tidak
independen lagi karena ada oknum di dalamnya kini menduduki jabatan dalam
pemerintahan sebagai Duta Besar. Seharusnya sebelum dilantik sebagai Duta Besar
telah resmi mengundurkan diri sebagai Anggota Dewan Pers,” pungkas Mandagi.
Sementara itu, Ketua Umum PPWI
Wilson Lalengke mengomentari “keunikan” Dewan Pers terkait keberadaan oknum
pejabat pemerintah di tubuh lembaga yang oleh ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU
No. 40 tahun 1999 tentang Pers, wajib bersifat independen.
“Pantas saja Dewan Pers jadi
semacam pembunuh wartawan dimana-mana, pengurusnya terindikasi berpihak kepada
kelompok kepentingan tertentu,” ujar lulusan PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012
itu.
Kenyataan itu, lanjut Wilson,
telah menjadi “bukti nyata yang tidak terbantahkan” bahwa Dewan Pers melanggar
UU No. 40 tahun 1999, khususnya pasal 15 ayat (1) dan ayat (3).
Menurut Undang-Undang Pers, untuk
menjadi anggota Dewan Pers diatur dalam pasal 15 ayat (3) UU No. 40 tahun 1999,
yakni: “Anggota Dewan Pers terdiri dari :
a. wartawan yang dipilih oleh
organisasi wartawan;
b. pimpinan perusahaan pers yang
dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c. tokoh masyarakat, ahli di
bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh
organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.”
Dari ketentuan pasal 15 ayat (3)
tersebut, sebut Wilson, tidak satupun poin yang menyatakan bahwa pejabat
pemerintah, termasuk duta besar, perwakilan pemerintah di dalam maupun di luar
negeri, menteri, dan mereka yang hidupnya dibiayai atau digaji dari uang
negara, boleh menjadi anggota Dewan Pers.
“Jadi, sangat wajar jika rekan
saya dari SPRI mempertanyakan keberadaan Sarundajang yang menjabat Dubes RI
sejak 20 Februari 2018, namun hingga hari ini masih bercokol di Dewan Pers.
Kita perlu mengoreksi kebijakan pemerintah dalam mengelola pers dengan
menempatkan pejabat aktif pemerintahan di lembaga yang seharusnya independen
itu,” tegas lulusan Master of Science in Global Ethics dari Birmingham
University, Inggris itu.
Lebih jauh, Wilson juga
mempertanyakan pola kerja administratif Dewan Pers terkait surat kuasa yang
diberikan kepada majelis hakim pada persidangan Kamis, 7 Juni 2018 pagi tadi.
“Surat Kuasa penunjukan penasehat hukum Dewan Pers yang ditandatangani oleh
sembilan anggotanya, bertanggal 28 Mei 2018.
Persidangan ke-3 lalu tertanggal
31 Mei 2018, 4 hari setelah surat kuasa dimaksud tersedia. Mengapa pada saat
sidang ketiga itu mereka belum bisa menyerahkan surat kuasa yang telah tersedia
di tanggal 28 Mei itu? Saya boleh curiga dong, bahwa surat kuasa itu hasil
rekayasa, bahkan mungkin terjadi pemalsuan di sana,” tukas Wilson penuh tanda
tanya.
Sidang Gugatan Ke 5 PMH Terhadap Dewan
Pers pada Senin, 4 Juli 2018.
Pada sidang lanjutan ke 5 atas perkara gugatan Perbuatan Melawan
Hukum (PMH) terhadap Dewan Pers oleh dua Organisasi Jurnalis PPWI dan SPRI
dilaksanakan pada Rabu, 4 Juli 2018. dengan agenda masih seputar membuktikan
legal standing atau status hukum masing-masing pihak.
“Tadi ada komplen dari pihak
tergugat Dewan Pers, bahwa salah satu legal standing dari PPWI belum lengkap,”
ujar Kuasa hukum dua oraginasi PPWI dan SPRI, Dolfie Rompas, usai persidangan,
Rabu (4/7/2018).
“Pemahaman
mereka (penasihat hukum Dewan Pers), bahwa legal standing organisasi itu harus
berbadan hukum. Padahal di dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2013 tentang Ormas,
jelas di pasal 16, bahwa Organisasi Masyarakat itu, bisa berbadan hukum bisa juga
tidak berbadan hukum,” terang Rompas.
Rompas menjelaskan, “Untuk PPWI
sendiri itu sudah memiliki SK Kesbangpol, dan sudah kita tunjukan, tetapi masih
kurang puas, tidak apa-apa. Saya suruh mereka coba membaca lagi undang-undang,
agar supaya mengerti apa yang dimaksud daripada undang-undang tersebut,”
ujarnya.
“Jadi jelas, bahwa tidak ada
masalah terkait legal standing penggugat, baik dari PPWI ataupun dari SPRI,”
imbuhnya.
Menariknya,
Dewan Pers tidak hanya mendapatkan Gugatan oleh dua organisasi jurnalis PPWI
dan SPRI. Namun juga dari puluhan pimpinan organisasi jurnalis bersama ratusan awak
media, juga para pemilik media tengah melakukan aksi solidaritas jurnalis Tolak
Kriminalisasi terhadap Wartawan di depan Gedung Dewan Pers.
Usai
melakukan aksi solidaritas, sejumlah Pimpinan Jurnalis bersama ratusan awak
media beserta pemilik media pun beranjak menuju Kantor Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, untuk mengikuti persidangan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
terhadap Dewan Pers yang kemudian berlanjut menuju Kantor Ombudsman.
Forwara Sumut
Minta Presiden Jokowi Bubarkan Dewan Pers
Terkait adanya Surat Edaran
264/DP-K/V/2018 Dewan Pers, Alian mengatakan, tak perlu dilakukan dan itu sama
saja menghina para pemilik Perusahaan Pers, Organisasi Pers dan para Jurnalis. Tentunya,
pihak-pihak terkait faham betul mengenai mana Perusahaan Pers, Organisasi
pers dan Pers yang benar.
“Jadi gak perlu adanya Surat
Edaran tersebut, emang Dewan Pers pernah kasih apa kepada Perusahaan Pers,
Organisasi pers dan Pers? Malah membuat banyak peraturan yang
akhirnya mempersulit itu semua,” tegas Alian yang juga mantan Kordinator
Liputan Waspada Online.
Lanjutnya, Presiden Jokowi malah
mempermudah semua urusan, di semua lini dan semua birokrasi harus cepat tidak
lamban. Namun, dengan Dewan Pers yang sekarang ini membuat suasana tidak
kondusif sebaiknya dibubarkan saja.
“Gak perlu ada Dewan Pers. Cukup
lembaga organisasi jurnalis aja yang bisa membuat insan persnya tenang,”
tukasnya, seperti dikutip patrolinews.com Minggu (3/6/2018).
Alian kembali menegaskan, bila
dirinya Menteri Informasi dan Komunikasi pastinya akan membubarkan Dewan Pers,
karena tidak punya nilai jual kepada jurnalis.
“Dewan Pers malah menjadi pemisah
dengan para Perusahaan Pers, Organisasi pers dan Pers sendiri dengan
adanya Surat Edaran tersebut. Sekali lagi saya katakan, sebaiknya Surat Edaran
itu gak perlu dibuat, karena masyarakat dan Publik tahu mana yang benar mana
yang tidak. Apalagi sampai ada yang mengancam tinggal masukkan kepenjara
selesai perkara,” tegas Alian
Pengamat IPI
Minta Ketua Dewan Pers Mundur Jika Tak Mampu
Jerry memuji langkah brilian yang
diambil PPWI dan SPRI demi membantu wartawan. Jerry merasa heran, dimana sudah
tiga kali sidang, namun Ketua Dewan Persnya belum nongol-nongol, atau tak
kunjung hadir. Jerry bahkan sempat mempertanyakan ketidak-hadiran Dewan Pers
tersebut.
“Ini sengaja dilakukan atau takut
bersaksi dalam sidang. Mana mungkin pimpinan Dewan Pers tak paham soal
kelengkapan berkas administrasi, saat mengeluarkan rekomendasi dan lainnya.
Kalau memang sudah tak mampu memimpin lembaga ini, lebih baik step back atau mundur
secara gentlemen,” kata peneliti kebijakan publik dari Amerika ini.