GemaJakarta, Jakarta - Diskusi publik Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia mengenai Revisi UU KPK, Perlukah Menerbitkan Perpu, berlangsung dengan demokrasi, lantaran dua panelis dan keynote speaker berbeda pandangan.
Sebab, Ali Mochtar Ngabalin dengan panelis Rully sepakat bahwa revisi UU KPK memang sebuah keharusan, sehingga pemerintah mengiyakan draf perubahan itu jadi UU.
"Soal perlukah RUU itu yang sudah disahkan Jadi UU itu harus dibuat Perpu, hanya Pak Jokowi dan Tuhan yang tahu. Perpu itu hak preogratif presiden," jelas Ali Mochtar Ngabalin, yang mengaku dirinya sebagai "abdi dalem" presiden.
Dia menyakini Jokowi dengan kesederhanannya sangat komit memberangus korupsi. Dia tidak ingin mencederai bangsa ini. Apalagi terhadap maling negara.
Ngabalin dan panelis Muh. Rullyandi menyakini revisi UU KPK itu bukan melemahkan keberadaan KPK, melainkan memperkuat sebagai lembaga adhoc.
"Artinya, jangan sampai KPK itu melanggar HAM, memberikan kepastian seseorang menjadi tersangka," jelas Muh Rullyandi, pakar Hukum Tata Negara.
Contohnya, ada seorang sekitar empat tahun dijadikan tersangka, ataupun seseorang yang sudah meninggal dijadikan tersangka. "Hal-hal seperti itu memang harus diperbaiki," jelas Rully.
Sementara Ubedilah Badrun, punya pandangan lain. "Izinkan bila pandangan saya berbeda dengan Bang Ngabalin," ujar Ubedilah Bahrun, yang disambut applaus para peserta.
Dalam pemaparannya, Ubed menyodorkan lima argumen pentingnya Perpu KPK. Pertama soal national interst, korupsi masuk kategori extraordinary crime, karena satu tahun diperkirakan APBN yang dikorup mencapai Rp 2OO triliun. Angka itu sama halnya membiayai 20.000 profesor sampai mati.
"Lagipula mayoritas koruptor yang ditangkap KPK elit politik dan elit birokrasi," jelas Ubed, menyebut angka politisi dan birokrat mencapai 60 persen.
"Argumen kedua, Perpu KPK dibolehkan secara konsitusi, pasal 22 ayat 1 dan Putusan MK No 138/PUU-VII/2009," beber Ubed.
Pada intinya, menurut dia, isi UU KPK melemahkan KPK. Tercermin dari Dewan Pengawas lebih berkuasa dibanding pimpinan KPK. "Sementara KPK lebih berat," tandasnya. Apalagi KPK bukan lembaga constituional important, sehingga menjadi lemah.
Moderator Sri Yunanto ikut "memanasi" materi Ubed yang dinilainya oposisi dari Ngabalin. Dia menilai, perbedaan itu akan menambah perbendaharaan masyarakat memahami soal KPK.
"Inilah indahnya perbedaan pada diskusi IPJI, para jurnalis dan penulis," jelas moderator, memberikan peserta untuk dialog dengan Ngabalin dan dua panelis.
Usai diskusi, Lian Lubis, Direktur Diklat IPJI, menayakan soal kebocoran Ro 200 triliun kepada Ubed, sekaligus jadi indikator
korupsi menjadi budaya negeri ini.
"Seperti pidato Muchtar Lubis dalam Kongres Kebudayaan pertama," tanyanya pada Ubed.
"Saya sepakat," tandas Ubed. Apalagi begawan ekenomi Indonesia, Soemitro - ayahanda Prabowo pernah mengatakan kebocoran APBN 30 persen.
Karena itu, menggerus korupsi agar tidak menjadi "jati diri" manusia Indonesia perlunya pendidikan sejak dini soal korupsi.
"Jadi anak Indonesia bisa memahami dampak buruknya korupsi. Tidak akan mau mendekat, apalagi pelaku," jelasnya.
Dia pun tidak menampik, merambahnya korupsi di pelbagai bidang, maka punishmet berat sangat diperlukan untuk memberikan shock terapi bagi pelaku.
"Termasuk didoor seperti China," timpal Lian Lubis.
Ubed pun mengangguk. "Kenapa tidak," tandasnya. (Her)