Gema Jakarta, Hari lahir pancasila yang jatuh pada 1 Juni lalu masih terasa semaraknya seperti yang terjadi di beberapa daerah dimana pimpinan daerah memberlakukan kebijakan untuk mengkumandangkan lagu Indonesia Raya setiap pagi baik di perkantoran, mall dan swalayan serta di beberapa titik seperti lampu merah dan lain - lain.
Elemen masyarakat pun tak ketinggalan menyemarakkan momentum tersebut dengan berbagai cara, membuat poster untuk di publish di sosial media dalam berbagai bentuk dengan nuansa dan ornamen Burung Garuda lengkap dengan Perisai Pancasila seperti yang di lakukan oleh kader - kader GP. Ansor di Jakarta Barat. Dialog Interaktif pun di selenggarakan secara online guna lebih memaknai esensi momentum hari lahir Pancasila dari sekedar peringatan biasa.
Mengusung tema "Merawat Pancasila Sebagai Rumah Besar Anak Bangsa", PC GP. Ansor Jakarta Barat melalui Biro Informasi dan Komunikasi Satkorcab Banser menghadirkan Sari Wijaya dari Gusdurian dan Niko Fajar Setiawan dari Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi DKI Jakarta yang menggantikan Suwarno Harjo Setio selaku ketua yang kebetulan berhalangan hadir.
Ketua PC. GP. Ansor Jakarta Barat Muhammad Muhadzab, M.Si dalam sambutannya menyampaikan, Sebagai generasi muda dan anak bangsa dalam konteks kekinian, selayaknya kita terus menyuarakan tentang pentingnya mengamalkan nilai - nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Sebagaimana kita ketahui di zaman sekarang ini banyak generasi muda kita yang "anti" terhadap Pancasila oleh karena pengaruh dan doktrinasi yang di lakukan oleh kelompok - kelompok yang ingin merubah ideologi negara dan ini menjadi ancaman besar bagi negara jika terus dibiarkan.
Sari Wijaya menyoroti tentang pentingnya melakukan indoktrinasi untuk bisa menjadikan Pancasila sebagai rumah besar kita (Indonesia) dan merawatnya tentu dengan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan kita sehari - hari.
"Perbedaan pandangan sebenarnya tidak masalah, yang jadi masalah adalah membeda - bedakan, bahwa Pancasila lahir karena adanya perbedaan suku, agama, etnis, golongan dan lain - lain dan Pancasila itulah yang menyatukan perbedaan tersebut menjadi satu kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara." terangnya.
Lanjutnya Mengutip pernyataan Gus Dur dalam konteks agama (Islam) bahwa Pancasila sesungguhnya sudah Islami, ibaratnya Islam itu sebagai Tebu dan Pancasila itu sebagai Gula dan diskursus tentang Islam dan Pancasila itu sudah final.
Sementara Niko Fajar Setiawan dalam paparannya menyampaikan, bahwa tahun 1945 pada saat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) di bentuk, 4 orang dari 62 anggotanya berasal dari etnis Tionghoa diantaranya adalah Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Hau dan Tan Eng Hoa.
"Itu artinya bahwa seluruh elemen masyarakat yang ada di Indonesia dari berbagai etnis memiliki kontribusi terhadap bangsa dan kesemuanya itu di satu padukan di dalam Pancasila yang menjadi kesepakatan bersama menjadi dasar negara." ucapnya.
Oleh karenanya, lanjut Niko, segala macam bentuk perbedaan - perbedaan semacam itu (seharusnya) sudah tidak relevan lagi untuk di bicarakan. Sejalan dengan yang di sampaikan oleh Sari Wijaya, yang terpenting adalah mari kita sama - sama mengamalkan nilai - nilai yang terkandung di dalam butir - butir Pancasila dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab". (Andre Hans)