Gema Jakarta, JAKARTA — Badan Musyawarah Suku Betawi 1982 atau BAMUS BETAWI 1982 adalah wadah berhimpun kaum Betawi termasuk di dalamnya berhimpun mayoritas Organisasi Kemasyarakatan Orang Betawi baik yang besar maupun kecil yang tersebar di Jakarta dan bodetabek seperti FBR, FORKABI, Astrabi, Betawi Bangkit dan lain sebagainya.
Bamus Betawi 1982 lahir melalui kesepakatan para sesepuh dan tokoh betawi yang mumpuni yang selama ini telah berjuang demi menjaga marwah dan peradaban kaum betawi. Kelahiran ini karena adanya perbedaan visi dan orisinalitas kebetawian yang dianggap tidak lagi sesuai dengan idealisme kelahiran Bamus Betawi tahun 1982 yang kemudian direfresentasikan melalui lembaga Majlis Adat sebagai Pemegang Kedaulatan Tertinggi Penjaga Adat Istiadat.
Majlis Adat Betawi yang diisi oleh tokoh tokoh betawi, seperti Mayjen TNI Pur H. Eddy M Nalapraya (Pendiri Bamus Betawi), KH. Luthfi Hakim, Mayjen TNI Pur H. Nachrowi Ramli, H. Ridwan Saidi, KH. Munahar Muhtar, KH.Ahmad Jaelani, Hj. Ida Wara Suprida mengambil sikap guna melanjutkan cita-cita tahun 1982 dengan mendirikan Bamus Suku Betawi 1982 yg disingkat BAMUS BETAWI 1982.
Bamus Betawi 1982 terus berjuang bersama-sama Kaum Betawi dan ormas ormas Betawi untuk mewujudkan cita cita leluhur betawi guna melestarikan, mengembangkan dan memperkuat akar budaya, adat istiadat, peradaban dan sejarah orang betawi di Ibukota sebagai putra asli daerah.
Tantangan mewujudkan cita cita ini tidak kecil tetapi harus kita hadapi dengan sekuat tenaga, dengan ijtihad bersatu dan dengan tetap berpijak pada adab dan kultural sebagai kaum betawi yang islami, berbudaya dan terbuka dengan semua suku yang ada di Indonesia sebagai saudara sesama anak bangsa.
Kesimpulannya adalah sebagai suku terbesar nomor 5 dari 1340 suku yang ada di negeri ini, maka Bamus Suku Betawi 1982 bukan sekedar organisasi kemasyarakatan biasa, tetapi ia adalah panggilan sejarah dan merupakan wadah tempat berhimpun semua potensi kaum betawi untuk berijtihad memperkuat peradaban sebagai akar budaya. “Budaya kuat negara kuat. Budaya hancur negara hancur”. (Red)